Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Estetika Dinding Alami Makin Populer, Tapi Masih Sering Disalahartikan: Demix NUDA Hadirkan Solusi yang Tangguh dan Autentik

Estetika Dinding Alami Makin Populer, Tapi Masih Sering Disalahartikan: Demix NUDA Hadirkan Solusi yang Tangguh dan Autentik

Bantentoday – Tren estetika dinding alami atau natural wall exposed tengah menjadi primadona di kalangan arsitek dan desainer interior Indonesia. Tampilan dinding yang tampak kasar, earthy, dan unfinished kini menghiasi hunian pribadi, kafe, ruang kerja, hingga galeri seni. Namun di balik popularitasnya, tren ini ternyata menyimpan kesalahpahaman mendasar dalam penerapannya.

“Banyak yang mengejar tampilan alami, tetapi justru menggunakan material imitasi yang tidak dirancang untuk terekspos,” jelas David AL, penggagas industri mortar instan di Indonesia, dalam ajang arsitektur nasional ARCH:ID yang digelar di ICE BSD, Tangerang (10/5). Ia menyebutkan contoh seperti penggunaan cat semen, wallpaper bermotif beton, hingga acian konvensional yang tidak memiliki ketahanan sebagai permukaan akhir.

Menurut David, estetika seharusnya tidak dipisahkan dari fungsi dan kekuatan material. “Ketika material yang belum siap tampil dipaksa terekspos, itu seperti menampilkan panggung tanpa aktor utama—secara teknis lemah, secara estetika juga kehilangan makna,” tegasnya.

Kritik terhadap tren “natural” yang salah kaprah ini justru mendorong lahirnya inovasi yang lebih bertanggung jawab secara desain dan fungsi. Salah satunya diwujudkan oleh Demix Indonesia melalui peluncuran Demix NUDA, sebuah mortar instan acian ekspos dekoratif yang memang dirancang sebagai lapisan akhir.

Dalam instalasi yang mereka tampilkan di ARCH:ID 2025, Demix NUDA menarik perhatian karena bukan hanya menawarkan palet warna yang khas dan tekstur alami, tetapi juga mengusung teknologi anti-retak (non-crack formulation) yang membuatnya tangguh menghadapi cuaca tropis dan perubahan waktu.

“Kami percaya dinding ekspos bukan sekadar efek visual. Harus ada ketulusan dari dalam, dari komposisi material itu sendiri. NUDA adalah ekspresi desain yang kuat dan jujur,” kata Fitria Novita, Presiden Direktur Demix Indonesia, dalam workshop interaktif bertajuk Colak Colek NUDA.

Fitria menambahkan, kehadiran Demix NUDA merupakan bentuk kontribusi lokal terhadap dunia arsitektur yang semakin menghargai keberlanjutan dan keotentikan. “Kami ingin menunjukkan bahwa material lokal bisa tampil penuh karakter, kuat, dan berkelas global. Di tangan arsitek, NUDA bisa menjadi bahasa desain yang tanpa batas,” ujarnya.

TAGS