Api Membakar Pasar Inpres Payakumbuh, Adat Menuntut Kehormatan

Api Membakar Pasar Inpres Payakumbuh, Adat Menuntut Kehormatan

Bantentoday – Pasca kebakaran pada akhir Agustus 2025 lalu yang menghanguskan sebanyak 267 unit toko ludes terbakar di Blok Barat Pasar Inpres Payakumbuh meninggalkan duka yang mendalam bagi para pedagang, khususnya  kekhawatiran yang lebih besar, yakni marwah Minangkabau ikut terancam.

Bagi Niniak mamak Nagari Koto Nan Ampek, musibah ini bukan sekadar kebakaran pasar. Ia adalah ujian bagi adat, tanah ulayat, dan identitas Minangkabau.

“Tanah yang menjadi lokasi Pasar Inpres sejak 1976 merupakan tanah ulayat, sehingga keberadaan dan kedudukannya perlu ditegaskan kembali melalui perjanjian resmi dengan Pemerintah Kota Payakumbuh,” kata Niniak mamak Nagari Koto Nan Ampek diketerangan resminya, Selasa (9/9/2025).

Pasar Inpres berdiri sejak 1976 di atas tanah ulayat Nagari Koto Nan Ampek. Lahan komunal ini merupakan pusaka kaum, dijaga oleh ninik mamak, dan hanya bisa digunakan berdasarkan kesepakatan adat.

Kebakaran yang meluluhlantakkan ratusan toko memicu desakan agar perjanjian lama antara pemerintah dan kaum adat diperbarui. “Perjanjian lama tidak lagi relevan. Siriah pulang ke gagangnya, pinang pulang ke tampuknya. Semua harus kembali pada kesepakatan asal yang benar,” tegas Hendra Yani Dt. Rajo Imbang, salah seorang ninik mamak terkemuka Koto Nan Ampek.

Para ninik mamak menegaskan, mereka tidak menolak revitalisasi Pasar Inpres. Namun, pembangunan kembali hanya bisa berjalan bila hak ulayat dihormati dan ninik mamak dilibatkan.

“Revitalisasi pasar tidak semata soal bangunan fisik. Ia harus ditopang dengan kesepakatan adat yang sah. Pemerintah wajib menggandeng ninik mamak dalam setiap tahap perencanaan,” ujar Dt. Rajo Imbang.

Bagi masyarakat Minang, tanah ulayat dan adat bukan sekadar aset materi, melainkan identitas dan harga diri. Pepatah lama tetap jadi pijakan: Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Budayawan Minang berulang kali mengingatkan hilangnya tanah ulayat berarti melemahkan identitas Minangkabau. Mengabaikan ninik mamak sama saja dengan menghapus ruh adat.

“Ninik mamak adalah kelompok penentu setiap keputusan yang menyangkut hajat orang banyak,” tulis peneliti Jamil (2015).

Itu sebabnya, kata Jamil, ancaman terhadap seorang datuak dipandang sebagai ancaman terhadap seluruh kaum.

Pepatah Minang mengingatkan: “Alam takambang jadi guru.” Bila kearifan adat diabaikan, masyarakat kehilangan “guru” tempat bercermin. Api pasar boleh padam, tapi api kepentingan yang mengabaikan adat bisa membakar jati diri Minangkabau.

Sementara, Dt. Rajo Imbang mengajak masyarakat ranah dan rantau bersatu menjaga adat. “Persatuan Minang diuji ketika adat terancam. Kini saatnya kita tunjukkan bahwa Minangkabau tetap kokoh dengan adat dan syarak sebagai penopang. Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang,” katanya.

Para ninik mamak menyerukan agar pemerintah menempatkan adat di garis depan revitalisasi. Dengan begitu, pembangunan pasar bisa berjalan tanpa mencederai marwah. Berikut enam rekomendasi adat untuk revitalisasi :

  1. Perjanjian adat baru antara pemerintah dan ninik mamak terkait tanah ulayat Pasar Inpres.
  2. Pelibatan ninik mamak dalam setiap tahapan perencanaan hingga pelaksanaan.
  3. Revitalisasi berbasis falsafah adat, termasuk desain dan tata ruang yang selaras dengan nilai Minang.
  4. Perlindungan marwah ninik mamak dari ancaman dan tekanan.
  5. Edukasi generasi muda Minang agar nilai adat tidak tercerabut oleh modernisasi.
  6. Rapat akbar adat pasca kebakaran sebagai momentum konsolidasi ranah dan rantau.

Sejarah membuktikan Minangkabau tegak karena adat dan syarak berjalan beriringan. Filosofi “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” adalah jalan keluar dari setiap krisis.

“Kebakaran Pasar Inpres bisa menjadi awal penyatuan kembali semangat gotong royong Minang. Api boleh membakar kios, tapi jangan biarkan membakar marwah adat,” kata Dt. Rajo Imbang.

TAGS